Latest Updates

Akuntansi Pajak Penghasilan

Mari kita pahami latar belakangnya. Akuntansi (bisnis as usual) punya ketentuan sendiri bagaimana menghitung dan membukukan transaksi, yang biasa dikenal dengan istilah standard akuntansi keuangan yang diterima umum (generally accepted accounting principles). Di lain pihak, pajak khusus pajak penghasilan juga mempunyai ketentuan yang bisa berbeda dengan yang diatur dalam standard akuntansi keuangan. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan pada:
  1. Laba yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan, yang biasa disebut dengan Penghasilan Kena Pajak.
  2. Laba sebelum dipotong pajak yang dilaporkan dalam laporan keuangan Wajib Pajak.
Perbedaan di atas menimbulkan masalah dalam akuntansi: bagaimana kita mencatat perbedaan tersebut? Untuk menjawabnya, yang perlu dipahami bahwa pajak penghasilan (PPh) diakui atau dicatat sebagai biaya dalam akuntansi keuangan. PPh yang dibayar adalah biaya, sehingga mengurangi laba perusahaan secara akuntansi komersial. Di lain pihak, menurut ketentuan pajak, Pajak Penghasilan tidak dapat dibiayakan. Berikut sekedar ilustrasi:

 
Keterangan Pajak Akuntansi
Pendapatan 20.000.000 20.000.000
Biaya Usaha 1.000.000 1.000.000
Biaya Depresiasi 3.750.000 7.500.000
Laba Kena Pajak 15.250.000 11.500.000
Pajak Penghasilan 3.812.500 2.875.000

Dari contoh di atas, kita ambil contoh perbedaannya di biaya depresiasi (biaya penyusutan), dimana biaya penyusutan yang diakui oleh pajak lebih kecil dibanding biaya penyusutan yang diakui secara akuntansi, sehingga pajak penghasilan yang terutang menurut akuntansi berbeda dengan menurut pajak. Bagaimana informasi ini dapat didisclose ke publik melalui laporan keuangan, yang umumnya didasarkan pada pedoman standar akuntansi.

Untuk mengatasi hal tersebut, dikenalkan istilah alokasi pajak, bagaimana perbedaan tadi dialokasikan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Berikut ada tiga alternatif alokasi pajak:
  1. Deferred tax method
  2. Liability method
  3. Net of tax method

Perlakuan Pajak PPh atas Deviden


Mungkin ada yang bingung bagaimana perlakuan Pajak atas deviden, yang terkadang bisa menjadi menjadi objek pajak dan juga bukan objek pajak. Berikut disajikan gambar perlakuan pajak atas deviden, yang dibedakan menjadi dua:
  1. Jika diterima oleh Orang Pribadi, maka dikenakan tarif PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10 persen yang bersifat final.
  2. Jika diterima oleh Wajib Pajak Badan, maka dibedakan menjadi objek pajak dan bukan objek pajak. 
    • Sebagai bukan objek pajak, apabila diterima oleh wajib pajak badan berbentuk PT, BUMN, atau BUMD yang menempatkan saham atas wajib pajak lain yang berkedudukan di Indonesia, deviden diambil dari laba di tahan, dan persentase kepemilikannya paling sedikit 25%.
    • Sebagai objek pajak, apabila diterima oleh wajib badan selain yang dimaksud di atas.

Tarif PPh Pasal 4 (2) Jasa Konstruksi


Berikut disajikan tarif PPh Pasal 4 ayat (2) dari jasa konstruksi:

1.
Usaha Jasa Konstruksi 





















a.
Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang Memiliki Kualifikasi Usaha Kecil.

2%

Penghasilan Bruto





























b. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang Tidak memiliki Kualifikasi Usaha.
4%

Penghasilan Bruto





























c. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain penyedia Jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Kecil dan penyedia Jasa yang tidak Memiliki Kualifikasi Usaha.
3%

Penghasilan Bruto





































d. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang Memiliki Kualifikasi Usaha.
4%

Penghasilan Bruto





























e. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang Tidak Memiliki Kualifikasi Usaha.
6%

Penghasilan Bruto




























Koreksi Fiskal

Koreksi Fiskal

Koreksi fiskal dapat diuraikan dari dua jenis suku kata, koreksi dan fiskal. Koreksi berarti melakukan perbaikan dari kondisi yang sebelumnya atau kondisi yang ada. Fiskal berarti hal-hal terkait dengan perpajakan. Oleh karena itu, koreksi fiskal sederhananya adalah kegiatan untuk melakukan perbaikan data-data perpajakan sehingga sesuai dengan ketentuan perpajakan. Apa ini sama dengan manipulasi? Bukan sama sekali. Perbaikan atau koreksi fiskal disebabkan oleh dua hal berikut:
  1. Ada perbedaan pengakuan antara ketentuan pajak dan praktek bisnis yang umumnya dilakukan. Ini biasa disebut dengan permanent difference (beda tetap). Misalnya, suatu biaya secara ketentuan pajak tidak dapat diakui, namun secara bisnis diakui dan dikeluarkan. Apa contohnya? Biaya pungutan liar di jalanan, atau dalam dunia bisnis. Jenis biaya ini tidak diakui secara perpajakan, sementara dalam bisnis diakui dan dikeluarkan. Mengapa dalam perpajakan tidak diakui? Pertama, tidak ada bukti yang mendukungnya. Kedua, ini biaya yang melanggar hukum sehingga ketentuan perpajakan tidak ingin memfasilitasi.
  2. Ada perbedaan penghitungan dan pengakuan (time difference). Ini perbedaan sementara saja sehingga pada suatu saat ada persamaan pengakuan dan penghitungan. Misalnya, masalah waktu penyusutan, dalam ketentuan pajak diakui 4 tahun, secara akuntansi atau bisnis diakui 3 tahun. Maka biaya penyusutannya akan terjadi perbedaan.
Perbedaan di atas harus disesuaikan sehingga sesuai dengan ketentuan perpajakan. Perbaikan ini dapat menghasilkan: beban pajaknya lebih tinggi atau lebih kecil. Jika akibat dari beban pajaknya tinggi, maka koreksi fiskalnya biasa disebut dengan koreksi fiskal positif. Artinya, positif menambah pajak penghasilan yang terutang. Sebaliknya, jika akibatnya pajak yang terutang kecil, maka disebut koreksi fiskal negatif. Dari dua akibat tersebut bisa dilist jenis koreksi fiskal apa saja yang menyebabkan postif maupun negatif. Silahkan baca tulisan lain.

PPh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

PPh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif, yang mempertimbangkan kharakteristik subjek pajaknya, sehingga Pemerintah  mengeluarkan kebijakan khusus untuk Pajak Penghasilan atas para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah alias Pajak UMKM, yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.
Inti dari pengaturan tersebut adalah penyederhanaan, sekali lagi penyederhanaan dari ketentuan pajak penghasilan yang ada, sehingga ditetapkan bahwa Pajak Penghasilan untuk Usaha UMKM adalah:

PPh UMKM = 1% dari penghasilan bruto.

Sederhana bukan? Walau tentu kesederhanaan itu ada trade-off nya yaitu keadilan. Dengan penyederhanaan, semua pelaku UMKM harus membayar pajak baik dalam kondisi untung maupun tidak untung. Aturan ini, karenanya dirasa tidak adil! Memang adil itu berbanding terbalik dengan sederhana. Jika mau adil, tentu penyederhanaan tidak bisa dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sederhana, apa iya pelaku UMKM benar-benar bisa melaksanakan kewajiban pajaknya dengan benar? Yang muncul, aturan pajak rumit, ribet! Nah, inilah tantangan yang harus terus diperbaiki di masa mendatang, bagaimana kesederhanaan tidak menafikan aspek keadilan.

Lantas, siapa yang disebut sebagai pelaku usaha UMKM? Pelaku usaha bisa Orang Pribadi maupun Badan yang omset brutonya tidak lebih dari 4.8 miliar setahun! Ingat ya 4.8 miliar setahun! Ya, silahkan dipermasalahkan batasan ini, apakah terlalu tinggi atau rendah.

Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang Pribadi adalah subjek pajak Orang Pribadi yang telah menerima/memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila batas ini sudah dipenuhi, maka subjek pajak Orang Pribadi tersebut berubah menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi. Artinya, subjek pajak yang sudah mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Lantas, berapa batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) itu, silahkan lihat di tulisan ini.

Nah, setelah seseorang memenuhi sebagai Wajib Pajak, dia wajib untuk mendaftarkan diri guna mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah itu, dia harus melakukan kewajiban lainnya, silahkan di cek disini yaitu penghitungan pajaknya, pembayaran, dan pelaporan pajaknya.

Tata Cara Penyetoran PPh

Tiga hal mendasar dalam tata cara penyetoran Pajak Penghasilan:
  1. Penyetoran tidak dilakukan di kantor pajak, tapi di bank atau kantor pos yang berstatus persepsi.
  2. Penyetoran menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
  3. Surat setoran pajak (SSP) harus ditera dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Untuk yang pertama, perlu diperhatikan agar tidak menitip ke orang pajak yang ada di kantor pajak. Memang terkadang ada bank atau kantor pos, yang ditempatkan di kantor pajak. Biasa di dekat ruangan Tempat Pelayanan Terpadu (TPT), tapi itu bukan bagian dari kantor pajak. Ini hanya mempermudah dalam penyetoran pajak oleh Wajib Pajak.